YOGYAKARTA – Infeksi HIV/AIDS masih menjadi masalah kesehatan global dan nasional, tak terkecuali di Kota Yogyakarta. Dalam pencegahan dan penanganannya, Pemerintah Kota Yogyakarta terus berupaya memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien penderita HIV/AIDS.
Hingga di bulan September 2023, ada 83 jiwa kasus baru penderita HIV/AIDS di Kota Yogyakarta. Jumlah tersebut kemungkinan bisa bertambah. Sedangkan pada tahun 2022 ada 114 jiwa penderita HIV/AIDS di Kota Yogyakarta. Hal ini disampaikan oleh Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat, Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta Aan Iswanti saat jumpa pers, Rabu (22/11/2023) lalu.
Sementara itu, Yayasan Vesta Indonesia menyampaikan bahwa temuan kasus HIV-AIDS berjumlah sebanyak 1644 kasus pada tahun 2023. Menurut Ketua Yayasan Vesta Indonesia, Joko Hadi Purnomo, menyampaikan perlunya aksi kolaboratif, untuk satuan tugas dalam hal penanganan HIV-AIDS.
“Permasalahan HIV-AIDS adalah persoalan kompleks yang tidak tersemat pada aspek kesehatan semata, seperti halnya fenomena gunung es (iceberg phenomenon). Bila dilihat secara komprehensif HIV-AIDS berkelindan dengan persoalan sosial (stigma dan diskriminasi), ekonomi (sulitnya akses pekerjaan bagi Orang Dengan HIV-AIDS akibat stigma dan diskriminasi), lifestyle, dan lain sebagainya,” kata Ketua Yayasan Vesta Indonesia, Joko Hadi Purnomo didampingi Technical Officer, Kafa dan Advokasi Officer, Ana, saat menerima undangan diskusi bersama Balon Wawako Yogyakarta, DR. (CAN) Ariyanto, SE.MM., Minggu (26/5/2024) di Bakpia Jogkem Alkid, Yogyakarta.
Kendati demikian, yang menyebabkan cara pandang pemerintah menjadi kaku, sempit dan statis. Sehingga kata Joko, yang terjadi persoalan HIV-AIDS hanya tersemat pada tanggungjawab dan kewenangan bidang kesehatan, dan hanya terfokus mitigasi penanggulangan pada aspek hilir-nya yakni seperit halnya penyediaan layanan kesehatan (test), sosialisasi, pengobatan, dan lain sebagainya.
“Dalam konteks di Kota Yogyakarta, langkah praktis dan kolaboratif perlu digaungkan dalam bingkai kolaborasi yang equal. Sehingga penting membentuk sebuah Satgas penjangkauan berbasis komunitas dengan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS),” ungkapnya.
Menanggapi hal itu, Ariyanto meminta semua pihak mau bersatu dalam penyelesaian masalah HIV-Aids. Tidak terlepas dari tanggungjawab Pemerintah dalam hal ini Dinas Kesehatan, namun berbagai elemen masyarakat hingga masyarakat itu sendiri, berkolaborasi untuk penanganannya.
“Pemerintah harus menggandeng semua pihak manapun. Ini adalah persoalan kesehatan. Termasuk pelaku pariwisata, jangan industri pariwisata kita meningkat tetapi juga seiring dengan ancaman HIV-AIDS ini,” kata Ariyanto yang didampingi Tim Aksi Politik (TAP), Ari Kusharyono.
Untuk mengantisipasi ancaman tersebut, dibutuhkan peran serta dari semua pihak agar meningkatkan kepedulian terhadap ancaman HIV-AIDS. Selain melakukan sosialisasi, orangtua menjadi pihak yang memegang peranan penting agar generasi melenial yang dominan di Yogyakarta bisa terlindungi.
“Berbagai event diadakan di sini, tentunya lalu lintas orang padat. Hal itu rentan dengan perkembangan HIV-AIDS, karena itu berbagai upaya harus dilakukan. Sehingga anak-anak bisa mawas diri, begitu juga orangtua, dan pihak terkait,” jelas Ariyanto.
Ariyanto mengajak masyarakat untuk tidak mendiskriminasi para penderita HIV/AIDS. Sehingga para penderita mendapatkan banyak dukungan dan mendapatkan semangat hidup dan berobat, sehingga bisa beraktifitas seperti orang lain pada umumnya.
“Saya berharap tidak ada diskriminasi terhadap penderita HIV-AIDS. Sehingga mereka akan patuh pengobatan, memiliki semangat tinggi, ini perlu dukungan dari berbagai pihak khususnya di lingkungan eksternal mereka,” sambungnya.
Ariyanto menambahkan, ancaman HIV-AIDS tidak boleh merusak generasi yang akan memimpin Indonesia pada masa mendatang.
“Pada 2035 mendatang, Indonesia memiliki bonus demografi, usia produktif lebih dari 60 persen. Kalau tidak dipersiapkan maka akan menjadi masalah. Generasi produktif namun bermasalah, akan rugi kita,” tutup Ariyanto. (Wira)