Bandar Lampung – Jagat politik Kota Metro tengah diguncang oleh skandal yang beraroma fitnah dan manipulasi informasi. Asmara Dewi (AD), istri sah dari Deswan (DN)—anggota DPRD Kota Metro dari Fraksi Partai NasDem sekaligus Ketua Badan Kehormatan—resmi dilaporkan ke Polda Lampung oleh LSM Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) Wilayah Teritorial Lampung, Senin (19/5/2025). Tuduhannya: menyebarkan hoaks dan laporan palsu yang memantik kegaduhan publik.
Kasus ini bermula dari laporan AD kepada Badan Kehormatan DPRD Metro pada 5 Mei 2025, yang menuduh suaminya menjalin hubungan tidak wajar dengan RH, seorang pimpinan DPRD. Bukti berupa tangkapan layar percakapan WhatsApp disebut turut dilampirkan. Namun yang mengejutkan, hanya dua hari berselang, laporan tersebut ditarik tanpa penjelasan mendalam.
Koordinator Humas GMBI Lampung, Imausah menilai tindakan tersebut telah merusak reputasi lembaga DPRD dan menyesatkan opini publik. “Ini bukan sekadar urusan rumah tangga. Ini soal integritas publik. Saat laporan hoaks menyebar dari lingkaran kekuasaan, dampaknya bisa sangat destruktif,” tegasnya.
GMBI merujuk pada sejumlah pasal pidana, termasuk Pasal 14 UU No. 1 Tahun 1946 dan Pasal 28 UU ITE, yang mengatur sanksi atas penyebaran berita bohong. Tak tanggung-tanggung, ancamannya mencapai 10 tahun penjara dan denda miliaran rupiah.
Kasus ini mencerminkan kelalaian serius dalam menjaga marwah lembaga legislatif. Laporan yang kemudian dicabut sepihak telah menjadi konsumsi publik dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap DPRD. “Pencabutan tanpa penjelasan adalah bentuk ketidakbertanggungjawaban moral dan etis,” ujar Imausah lagi.
Ledakan opini publik pun tak terhindarkan. Masyarakat, khususnya di media sosial, mengecam drama politik ini sebagai tontonan buruk dari para elite. Salah satu komentar warganet yang viral menulis, “Kalau tidak benar, kenapa dilaporkan? Kalau benar, kenapa dicabut? Ini pelecehan terhadap rasa keadilan.”
Imausah mendesak pembentukan tim investigasi independen atau panitia khusus (pansus) DPRD untuk mengurai benang kusut kasus ini. Ia menilai dua korban besar telah lahir dari insiden ini: institusi DPRD dan publik Kota Metro yang terus dijadikan sasaran drama politik tanpa ujung.
“Kami tak ingin kasus ini berhenti di meja negosiasi politik atau kompromi elit. Penegakan hukum harus objektif, transparan, dan menyeluruh,” tandasnya.
Kasus ini menjadi refleksi penting bagi publik bahwa hoaks tak melulu datang dari akun anonim atau buzzer liar. Ketika penyebarnya berasal dari lingkar kekuasaan, efeknya jauh lebih sistemik. Kota Metro kini dihadapkan pada dua pilihan: membongkar kebenaran, atau membiarkan institusinya terus dicemari sandiwara elit. (Rud)