WartaViral.com, Serdang Bedagai (Sumut) – Kasus pelaporan dugaan penganiayaan yang menyeret nama wartawan Satam JM dari Asosiasi Keluarga Pers Indonesia (AKPERSI) kini menjadi sorotan tajam publik dan insan pers. Di balik laporan yang diajukan seorang wanita bernama Anggraini alias Ani, terungkap indikasi kuat intervensi aparat, penghilangan bukti, hingga dugaan kriminalisasi terhadap jurnalis kritis. Kasus ini diduga bukan hanya soal pidana, tetapi juga pertarungan antara kebenaran dan kekuasaan. (30/5/2025)
Insiden bermula dari adanya laporan dugaan penganiayaan oleh Anggraini terhadap keluarga Satam JM. Namun, justru pihak pelapor terekam dalam sebuah video melakukan penyerangan ke rumah Satam yang berada di Dusun II, Desa Kuta Baru, Kecamatan Tebingtinggi, Serdang Bedagai.
“Video penyerangan sempat diviralkan pelapor sendiri di media sosial, lalu dihapus. Untungnya saya masih menyimpan salinannya,” tegas Satam kepada wartawan. Anehnya, alih-alih fokus pada fakta lapangan, pihak penyidik Polres Tebingtinggi justru terus mendorong pelimpahan kasus ke pengadilan.
Satam menduga, ada skenario sistematis untuk menjadikan dirinya dan keluarga sebagai tersangka, sebagai bentuk pembungkaman atas sikap kritisnya selama ini terhadap kinerja aparat.
“Sinergitas polisi dan wartawan hanya indah di baliho. Di lapangan, kami diintimidasi. Ini bukan sekadar kasus, ini peringatan keras bahwa kebebasan pers sedang dalam ancaman nyata,” ungkap Satam dengan nada prihatin.
Kuasa hukum Satam, Hendra Prasetyo Hutajulu, SH., MH., menilai laporan yang diajukan Anggraini sangat lemah secara hukum. “Alat bukti utama menunjukkan justru klien kami yang diserang. Saksi kunci tidak ada, rekaman visual mendukung klien kami. Secara logika hukum, perkara ini semestinya dihentikan melalui penerbitan SP3,” ujarnya.
Merespons kejanggalan demi kejanggalan yang muncul, pihak Satam JM mendesak agar gelar perkara tidak dilakukan di Polres Tebingtinggi, melainkan langsung di lokasi kejadian untuk menjamin transparansi dan akurasi fakta.
“Kami khawatir ada upaya penggiringan opini dan manipulasi di internal Polres. Gelar perkara harus di TKP agar semua pihak bisa melihat langsung kronologi dan konteks sebenarnya. Kami juga minta Propam Mabes Polri turun untuk mengevaluasi dugaan pelanggaran etik yang dilakukan unit PPA Polres Tebingtinggi,” pungkas Satam.
Kasus ini kini menjadi simbol perlawanan terhadap dugaan kriminalisasi jurnalis dan pelecehan terhadap kebebasan pers. Publik dan insan pers di seluruh Indonesia diminta terus mengawal proses hukum ini agar tidak mencederai demokrasi dan keadilan.(Julip Effendi | WartaViral.com)