BeritaBerita Utama

Santri 12 Tahun Jadi Korban Kekerasan, Pulang dengan Luka Jahitan dan Trauma Berat

50
×

Santri 12 Tahun Jadi Korban Kekerasan, Pulang dengan Luka Jahitan dan Trauma Berat

Sebarkan artikel ini

Pesawaran – Harapan orang tua santri asal Natar pupus sudah. Anak semata wayang mereka, MFR (12), pulang dengan luka jahitan di mulut dan trauma mendalam yang membuatnya enggan kembali ke Pondok Pesantren Tahfidzil Qur’an Daarussa’adah di Kabupaten Pesawaran, bahkan ke pesantren manapun.

Malam itu, Sabtu (23/8/2025), seharusnya MFR duduk bersila dengan tenang mendengarkan kajian selepas Maghrib. Namun ketenangan berubah jadi mimpi buruk. Sebuah tendangan keras dari sesama santri mengenai wajahnya. Tubuh mungil itu tersungkur, darah segar mengalir dari bibir dan hidungnya, hingga ia kehilangan kesadaran.

Santri yang baru satu bulan sepuluh hari mondok ini harus menahan sakit luar biasa. Bibirnya dijahit delapan kali—empat di dalam, empat di luar. Luka fisik mungkin bisa disembuhkan dengan jarum dan benang, tetapi luka batin dan trauma di usia belia, siapa yang bisa menjahitnya kembali?

Saat kejadian, pihak pondok membawa korban ke rumah sakit tanpa seizin keluarga. Setelah perawatan, MFR tidak diopname, melainkan dipulangkan kembali ke pesantren dan hanya diinapkan di ruang UKS malam itu.

“Betapa kagetnya saya, mendengar anak saya celaka. Seharusnya orang tua dikabarkan saat kejadian. Anehnya, saya baru tahu esok harinya. Waktu itu kondisi anak saya bengkak, sulit makan, dan masih lemah. Saya sangat menyayangkan pihak pondok tidak segera mengopname,” tutur sang ayah, Joni dengan suara bergetar menahan kecewa.

Lebih memilukan, pengakuan MFR mengungkap bahwa ini bukan kali pertama ia jadi korban perundungan. Sebelumnya, ia sering ditendang, dipukul, bahkan kehilangan barang-barangnya. Semua itu seolah luput dari pengawasan pihak pesantren.

Kini, setiap kali mendengar kata “mondok,” MFR menunduk dengan wajah takut. Kata-kata lirihnya“tidak mau ke pondok lagi”menusuk hati orang tua dan keluarga. Anak yang tadinya bercita-cita menjadi penghafal Al-Qur’an justru dihantui rasa takut dan trauma.

“Kami mulai meragukan kredibilitas pondok dalam mendidik santri. Alih-alih merasa aman, anak kami justru jadi korban kekerasan. Trauma anak saya bahkan terbawa ke mimpi, sering mengigau seperti orang ketakutan,” ungkap sang ayah, pilu.

Menanggapi kasus ini, pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzil Qur’an Daarussa’adah, KH. Edi Maulana, mengatakan bahwa persoalan antara keluarga korban dan pelaku telah diselesaikan secara kekeluargaan. Ia menegaskan peristiwa ini akan menjadi bahan evaluasi serius.

“Kami berterima kasih atas bantuan dan masukan. Insya Allah hal-hal yang menjadi kekurangan akan kami perbaiki. Kami ingin terus mengoreksi diri agar pesantren ini semakin baik,” ujar KH. Edi Maulana, Kamis (8/5/2025).

Terkait sanksi bagi pelaku, ia menyebut pemberhentian bisa saja dilakukan. “Kami akan keluarkan,” tegasnya.

Namun, hingga kini belum ada tindakan nyata dari pihak pondok. Santri pelaku kekerasan masih berada di lingkungan pesantren tanpa sanksi yang jelas. Kondisi ini memunculkan pertanyaan serius mengenai sejauh mana komitmen pondok dalam menegakkan disiplin dan melindungi santri. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *